CERPEN 

Calon Mayat

Cerpen: Zainul Muttaqin ____________________________________________________________________

Sudah hampir satu minggu Mak Murken jatuh sakit, lemas tiba tiba tubuhnya. Dia terbaring di atas ranjang, tak lagi banyak berkata. Sesekali saja ia bicara, pelan suaranya terdengar meminta sesuatu pada Wati, anak perempuannya itu. Semakin hari, wajah Mak Murken kian redup, pucat terlihat oleh Wati. Kecemasan tambah membelukar dalam dada Wati, takut ia bila ibunya meninggal.

Karena itulah, Wati menghubungi tiga saudaranya yang tinggal di luar kota. Mak Murken memiliki empat orang anak, dua lelaki dan dua perempuan. Hanya Wati yang tinggal bersama Mak Murken, tiga lainnya ikut pasangannya. Faisal, anak kedua Mak Murken datang keesokan harinya bersamaan dengan Aguk dan Sari. Mereka duduk di samping Mak Murken, datar wajah mereka. Faisal memegang pergelangan tangan Mak Murken, lambat detaknya. Mak Murken membuka mata, samar ia melihat semua anaknya berkumpul di dekatnya.

“Urat-urat pergelangan tangan emak terlihat, ini seperti bapak waktu menjelang ajal,” ucap Faisal. Ia seperti melihat kematian mendekati Mak Murken.

Mak Murken dipindahkan ke ruang tamu, sebab ia sering ditinggal seorang diri. Semua anaknya enggan menungguinya dalam kamar berjam-jam di samping Mak Murken, hanya sesekali saja salah satu diantara anak Mak Murken melihatnya, memastikan Mak Murken masih hidup atau sudah meninggal. Perundingan soal apakah Mak Murken perlu masuk rumah sakit atau dibiarkan begitu saja berakhir dengan kesepakatan, Mak Murken akan diobati di rumah sakit dengan catatan, semua biaya menggunakan uang Mak Murken.

Setelah ditinggal mati sang suami, Mak Murken hidup dari uang pensiunan suaminya. Ia simpan uang itu dalam lemari, di balik lipatan bajunya. Terkadang Mak Murken kehilangan uangnya, dan ia tahu siapa yang mengambil. Kepada Aguk ia berkata, “Kalau butuh uang bilang, jangan ambil diam-diam. Itu mencuri namanya. Emak tak pernah ajarkan kau mencuri, Ingat, Nak.”

Tiga hari berada di rumah sakit, tak ada perkembangan apapun. Terpaksa Mak Murken dibawa pulang. Faisal mengatakan kepada Mak Murken, lebih baik rawat di rumah saja. Faisal akan mendatangkan dokter, biaya akan ditanggung olehnya. Mak Murken yang hanya bisa mendengar, tanpa bisa membuka mata, terharu dibuatnya.

Waktu berputar, hari demi hari, Mak Murken terpaksa dipasangi infus karena perempuan berambut putih itu tak lagi bisa menelan makanan, hanya air putih saja, itupun harus dipaksa. Wati menggerutu begitu tahu, ternyata Faisal tidak benar-benar membiayai pengobatan Mak Murken. Faisal menyuruh Wati mengambil uang Mak Murken di lemarinya, alasan Faisal karena Mak Murken masih punya banyak uang, pastinya itu uang memang disiapkan saat masa tua seperti ini.

“Kalau memang tak mau bantu, ya gak usah sok mau biayai pengobatan emak,” kesal Wati pada Faisal.

Dengan cepat Faisal menjawab, “Kau juga anaknya, apa yang kau lakukan untuk Emak?”

“Saya yang siang malam tinggal bersama emak. Saya yang merawatnya, yang lain cuma beberapa hari, lalu pulang.”

Ketiga anak Mak Murken memang hanya menginap tiga malam, setelah itu pulang tanpa berpikir bahwa Mak Murken masih terbaring sakit di atas ranjang. Menurut mereka, Mak Murken tak akan sembuh seperti sediakala. Jadi, apalah gunanya menemani Mak Murken. Mereka berjanji akan menjenguk ibunya sesekali, misal sebulan sekali atau mungkin seminggu sekali.

“Lalu, kalian timpakan semua beban ini pada saya. Hah!” Wati setengah berteriak saat tiga saudaranya hendak pulang ke rumah pasangannya.

Dari luar rumah, Mak Murken mendengar cekcok sesama anak-anaknya itu. Sedih ia mendengarnya, air matanya jatuh, menangis batinnya. Saat mereka berpamitan, Mak Murken memegang erat tangan mereka, tak ingin dilepas. Wati melihat adegan itu, menggeleng kepalanya. Mereka pergi, tanpa peduli bagaimana sedihnya perasaan Mak Murken.

Sewaktu Mak Murken ditemani sama semua anaknya, tak satu pun di antara mereka mengaji untuk kesembuhan Mak Murken. Padahal, Pak Rohmat, bapak mereka selalu berpesan bahwa Al Quran adalah obat bagi yang sakit. Para tetangga pun berkomentar, beragam hal mereka katakan soal kondisi Mak Murken terkait tingkah laku semua anak-anaknya.

“Gak ada yang benar anak Mak Murken. Emaknya sakit, malah anaknya putar musik dangdut di dekatnya.

“Mereka gak bisa ngaji apa memang malas. Kasihan Mak Murken, punya banyak anak. Tapi tak ada satu pun yang mendoakannya.”

“Malang betul nasib Mak Murken, anak-anaknya hanya memikirkan dunia.”

Wati sebagai satu-satunya anak Mak Murken yang kini merawatnya seorang diri, kerap ia diingatkan tetangganya supaya perempuan paruh baya itu mengaji Yasin dikhusukan untuk Mak Murken. Walaupun Mak Murken sakit, jangan sampai lupa mengingatkan waktu salat, itu tanggung jawab yang hidup, kata seorang tetangga.

Setiap pagi Wati mengelap seluruh tubuh Mak Murken dengan kain basah, barulah kemudian ia memberinya makan dan minum. Terkadang Wati meminta bantuan seseorang untuk membantu merawat ibunya, lelah ia mengerjakannya seorang diri. Dalam hati sering ia menggerutu, mengingat tiga saudaranya tak peduli pada Mak Murken.

Akhir-akhir ini Mak Murken mulai bicara melantur, aneh kedengarannya. Ia pernah berkata dengan mata terpejam, katanya ia baru saja naik bis berjam-jam. Dan begitu hendak sampai di terminal ia tidak turun. Padahal Pak Rohmat, suaminya itu menunggu di terminal yang entah dimana itu. Berbagai omongan tak masuk akal sering keluar dari mulut Mak Murken, seolah terkadang ia berada di dimensi lain.

Wati menceritakan saja perkembangan Mak Murken kesemua saudaranya, beragam respon dari mereka. Ada yang bilang, secepatnya akan menjenguk emak. Ada yang bilang, sedang sibuk dengan pekerjaannya. Wati mengelus dada, mengatur laju napasnya mengetahui tanggapan itu dari mereka. Mak Murken sudah tak lagi memakai infus, karena dua pertimbangan. Pertama, uang Mak Murken mulai menipis. Kedua, keadaan Mak Murken tetap saja, tak ada tanda akan sembuh.

Faisal datang lagi, sehabis Isya. Ia melihat emaknya, langsung berkata pada Wati yang berada di sampingnya, “Rasa-rasanya emak hanya menunggu ajal. Wajah emak sudah berbeda.”

Seorang tetangga dekat, perempuan berbadan gemuk itu menghampiri, ikut duduk di antara mereka. Perempuan gemuk itu mengaji, Mak Murken membuka matanya sedikit. Faisal dan Wati keluar, mungkin tersindir karena mereka belum pernah mengaji untuk emaknya sendiri sampai detik ini. Selesai mengaji, perempuan itu keluar menemui dua anak Mak Murken.

Faisal berkata, tegas ia berucap, “Kalau emak sudah meninggal, saya akan mengumrahkan emak. Saya akan berangkat ke Tanah Suci lagi.”

Perempuan gemuk yang merupakan tetangga depan rumah Mak Murken itu langsung menyambar perkataan Faisal, “Tak usah kau umrahkan Mak Murken. Cukup kau ingatkan emakmu itu salat, cukup kau mengaji untuknya.”

Belum sempat Faisal menanggapi perkataan perempuan gemuk itu, sudah berkata lagi si perempuan tersebut, “Dan saya yakin Mak Murken akan lebih bahagia bila melihat anak-anaknya bisa menjaga salatnya yang lima waktu. Itu juga kebahagiaan semua orangtua.”

Bungkam mulut Faisal, terguncang batinnya. Semua yang dikatakan perempuan gemuk itu menusuk tepat di ulu hatinya. Ramadan bulan lalu, Faisal jarang berpuasa apalagi sampai menjaga kewajibannya yang lima waktu. Demikian juga yang dilakukan semua anak Mak Murken. Mungkin karena alasan inilah Mak Murken belum bisa meninggalkan dunia ini, beban sebagai ibu menghantui Mak Murken karena tingkah polah anaknya.

“Mak Murken sudah haji, jadi tak perlu lagi kau umrahkan dia.” Perempuan berbadan besar itu menutup perkataannya.

Sudah tiga kali Faisal memang menginjakkan kaki di Tanah Suci. Cerita-ceritanya soal Mekkah dan Kabah begitu memukau pendengarnya, dan kesimpulan ceritanya adalah bahwa Faisal adalah orang saleh karena cuma dia satu-satunya anak Mak Murken yang berkali-kali ke Tanah Suci.

Tapi semua cerita yang dikisahkan Faisal menjadi hambar saat perempuan gemuk itu berkata, “Apa yang kau cari di sana? Semua itu sia-sia ketika kau tak patuh pada ibumu.”
***

Dua bulan berlalu, Mak Murken tetap terbaring di atas ranjang serupa mayat. Tubuhnya tak bisa digerakkan sama sekali, hanya mulut dan matanya yang masih berfungsi. Mak Murken sudah berharap segera mati saja, percuma ia memikirkan anak-anaknya yang belum pernah ia dengar suaranya mengaji di dekatnya.

Wati mengoceh setiap hari, lelah mengurusi Mak Murken seorang diri. Tiga saudaranya yang lain tak terlihat lagi batang hidungnya sejak sebulan lalu. Sewaktu sadar, Mak Murken membuka matanya, berkata ia pada Wati, meminta Wati membuang Mak Murken ke laut saja bila tak sanggup merawatnya.

Mak Murken berkata lagi, “Saya akan mati dengan tenang ketika semua anak saya mengaji di samping saya. Mungkin saat itulah Izrail akan datang menjemput.”

Malam harinya semua anak Mak Murken datang. Bulan baru lepas dari pelukan awan. Saling pandang mereka, bingung mau mengaji apa karena saking lamanya tidak membuka Al Quran. Dalam pejam matanya, Mak Murken melihat malaikat maut bersiap mencabut nyawanya, hanya menunggu anak-anaknya membaca surat Yasin.

Pulau Garam, Juni 2020

 

Zainul Muttaqin, lahir di Batang-Batang, Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan Madura. Cerpennya berjudul “Celurit di Atas Kuburan” masuk dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2019. Buku kumpulan cerpennya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2019).

 

 

Related posts

Leave a Comment

20 − 12 =